Entri Populer

Jumat, 24 Juni 2011

Membangun Kreativitas Pariwisata Indonesia

Kurang lebih satu tahun yang lalu saya mendapatkan penugasan di salah satu kota di Timur Tengah, saat itu saya tinggal bersama-sama rekan kantor dari negara lain di sebuah rumah, diantaranya adalah warga Singapura. Biasanya di akhir pekan atau malam hari setelah selesai bekerja kami menyempatkan waktu untuk berbincang-bincang. Salah satu pertanyaan yang selalu saya ingat dari salah satu rekan kerja warga Singaur adalah tentang gunung di Indonesia.
Waktu itu dia menanyakan apakah Indonesia memiliki gunung yang bisa dikunjungi, awalnya saya menjawab sambil tersenyum karena hampir setiap wilayah di Indonesia memiliki gunung, bahkan gunung api aktif. Lalu dia melanjutkan, jika dia berkeinginan berwisata ke gunung, saya pun kembali tersenyum dan bertanya mengapa dia ingin melihat gunung? karena kita sudah terbiasa dengan gunung bahkan ketika kecilpun sering mengunjungi gunung. Saya baru tersadar ketika dia mengatakan bahwa di Singapura tidak ada gunung, untuk itu dia ingin ke Indonesia. Hmmmm betul juga yah, di Singapura kan tidak ada gunung, ada juga bukit itu pun nama tempat. Saya pun berfikir betul juga, paling singapura hanya memiliki pantai yang dapat dikunjungi. Lalu dia pun mulai bertanya lagi mengenai gunung yang direkomendasikan untuk dikunjungi, kali ini saya terdiam karena tak bisa menjawab dengan pasti. 
Kawah Gunung Galunggung, potensi wisata alam yang belum dikelola dengan baik

Pantai Pangumbahan - Ujung Genteng (pelepasan tukik/anak penyu), potensi pariwisata dengan akomodasi dan transportasi yang masih terbatas
Untuk ukuran pariwisata, terus terang saya kesulitan memberi rekomendasi karena tak banyak lokasi gunung yang memiliki sarana penginapan dan transportasi yang memadai. Kalaupun ada mungkin adalah fasilitas tur dari hotel berbintang, yang artinya cukup mahal bagi pelancong kelas menengah. Satu-satunya yang bisa saya rekomendasikan hanyalah Gunung tangkuban perahu, karena memiliki fasilitas penginapan di area pariwisata pemandian Ciater dan dapat dijangkau dengan mudah dari Bandara Sukarno Hatta Jakarta atau Bandara Husein Sastranegara di Bandung. 
Saat itu saya baru tersadar dan menyayangkan, ternyata warga kita belum benar-benar memperhatikan potensi pariwisata negaranya. Banyak lokasi wisata atau kegiatan kebudayaan yang dikelola dengan seadanya, yang pastinya  menarik bagi wisatawan mancanegara.
Saya pun teringat, betapa banyaknya promosi wisata yang ditawarkan oleh negara Singapura dan menarik wisatawan termasuk wisatawan dari Indonesia sendiri. Padahal jika kita renungkan, fasilitas wisata tersebut hampir semuanya adalah buatan manusia. Bahkan mungkin menurut kita tak aneh, karena hanya berupa pertunjukan kesenian biasa, pertunjukan kembang api  atau hanya sekedar kebun binatang. 
Satu hal yang saya acungi jempol adalah, informasi tempat wisata dan kegiatan kesenian yang diadakan di Singapura selalu dipromosikan dengan jelas sehingga membuat heboh dan menarik wisatawan. Hal itu juga didukung oleh fasilitas transportasi yang bagus, paling tidak wisatawan mudah mencari informasi alat transportasi yang akan digunakan beserta biayanya, pun dengan akomodasi yang tersedia.
Sementara di Indonesia sendiri, transportasi mengandalkan kendaraan perorangan dengan tarif yang tidak jelas, sementara fasilitas penginapan lebih banyak seadanya yang disamakan dengan wisatawan lokal. Benar-benar jauh berbeda, padahal puluhan sarana wisata yang terbentuk secara alami dan kegiatan kesenian dan pertunjukan kebudayaan pun dapat dilaksanakan kapan saja. Buktinya masih banya seniman dan budayawan yang lebih sering menganggur dan tak punya pendapatan yang jelas.
Berkaca dari hal ini, perlu di bangun kreativitas yang lebih dalam mengelola pariwisata di Indonesia, semisal :
  1. Membuat acara-acara pementasan kesenian yang memang ditujukan untuk mendatangkan wisatawan, khususnya wisatawan manca negara. Kegiatan ini menurut pengamatan saya mulai banyak di lakukan di jakarta dengan menggelar festifal-festival budaya betawi secara lokal, seperti di Festival Kemang.
  2. Mengadakan promosi dengan informasi secara jelas, baik melalui media internet, media TV, ataupun media kertas di terminal keberangkatan-kedatangan Bandara Internasioanl di Indonesia.
  3. Memberikan informasi kalender kegiatan kesenian/kebudayaan secara lengkap dan jelas ke setiap hotel berbintang. Setidaknya hotel dapat mengelola keberangkatan wisatawan secara mandiri.
  4. Menyediakan kendaraan wisata khusus di titik-titik keramaian wisatawan, sehingga wisatawan kelas menengah pun dapat dengan mudah menjangkau lokasi wisata atau lokasi kegiatan kesenian.
  5. Mendidik kader-kader wisata, khususnya di daerah sehingga mereka dapat menjadi ujung tombak informasi bagi para wisatawan dan dapat mempersiapkan fasilitas dan acara kesenian sesuai dengan standar kenayaman minimal wisatawan.
  6. Memanfaatkan internet semaksimal mungkin untuk mempromosikan segala potensi pariwisata nusantara, karena saat ini setiap orang di seluruh dunia akan memulai pencarian informasi wisata dari internet.
Demikian sekedar pemikiran saya untuk mengembangkan potensi pendapatan nasioanl dari pariwasata nusantara. Bagaimanapun, setiap wisatawan akan membawa uang dari negaranya masing-masing saat berwisata, setidaknya daripada jatuh ke kantong negara lain alangkah lebih baik jika jatuh ke kantong Indonesia dan menambah pendapatan penduduk dan negara. 
Sekedar pengingat, tak semata-mata Singapura berani menyelenggarakan olahraga otomotif F1 di negaranya dengan biaya yang luar biasa (termasuk penyediaan fasilitas tambahan lampu untuk balapan malam hari) jika tak memperhitungkan potensi pendapatan negaranya dari pariwisata, khususnya fasilitas penginapan yang selalu penuh dan rate yang tinggi setiap penyelenggaraan balapan F1.
Semoga, setiap warga yang terlibat dalam industri pariwisata di Indonesia dan pejabat pariwisata yang berwenang segera terpacu dan menjadi lebih kreatif dalam penyelenggaraan dan mempromosikan pariwisata, yang pada akhirnya dapat meningkatkan aliran devisa dari luar negeri masuk ke dalam negri, bukan sebaliknya.


PT. KAI Yang Justru Tidak Cerdik Memanfaatkan Kesempatan

Sudah lebih dari 3 tahun saya menumpang krl (kereta rel listrik) untuk berangkat kerja ke jakarta. Dahulu saya sering menumpang bus, dan sesekali membawa kendaraan sendiri. Bahkan pernah menjadi omprengan bagi para penumpang yang searah dengan kantor, tak lain dan tak bukan untuk mensiasati jaminan waktu tempuh dalam kondisi kenaikan harga BBM, tarif tol dan tarif parkir. Itupun dengan kompensasi lelahnya mengendarai dalam kemacetan dalam kota jakarta.
KRL AC di Stasiun Bogor
Namun sejak 3 tahun yang lalu, saya mulai menemukan alternatif transportasi lain yaitu krl express. Saat itu jadwal krl express pakuan sudah mulai membaik dibanding dahulu, walaupun memang masih sering terjadi keterlambatan. Dengan menumpang krl, saya mulai mendapatkan keuntungan yaitu waktu tempuh yang lebih cepat dan tidak melelahkan karena setidaknya saya bisa beristirahat dalam perjalana pergi dan pulang dari jakarta.
Tahun berlalu, kemacetan jalur luar kota dan dalam kota semakin bertambah seiring dengan penambahan pemilik dan jumlah kendaraan. Harga tiket expres pun mulai naik, namun saya akui pula saat itu jumlah keterlambatan krl pun semakin berkurang.
Selain saya, banyak pula transporter yang mulai berpindah moda transportasi dari kendaraan pribadi menjadi penumpang krl, baik dari Bogor, Depok, Bekasi, bahkan serpong. Tak lain karena krl express lebih dapat diandalkan dibanding jalan raya, lebih cepat, lebih sering tepat waktu , dan yang jelas ber-AC.
Namun, sejak diumumkan rencana perubahan model layanan krl menjadi single operation, harapan akan semakin nyamannya layanan krl justru menghilang. Selain karena masih sering terjadinya gangguan sinyal yang berakibat keterlambatan, juga seringnya terjadi kerusakan AC.
Layanan baru yang akan dilakukan oleh PT.KAI dengan anak preusahaannya PT. KAI Comuter Jabotabek, justru memperpanjang waktu tempuh, dimana penyeragamkan pemberhentian di setiap stasiun akan berlaku untuk semua krl baik non AC maupun AC dengan alasan peningkatan jumlah penumpang, walaupun ternyata terselubung kenaikan tarif ekonomi AC dari 5.500 rupiah  menjadi 9.000 rupian. Padahal krl expres yang hanya berhenti di tiap stasiun pun pada jam-jam sibuk kerja (pagi & sore) saat ini sudah padat penumpang, dan berdesakan.Padahal harga tiket sudah premium sebesar 11.000 rupiah, tak lain karena banyak penumpang yang lebih memilih untuk membeli waktu tempuh.
Perkiraan saya, dengan pola baru waktu tempuh Bogor - Manggarai (misalnya) akan bertambah 15 sd 20 menit dari sebelumnya yang berkisar 45-50menit (normal krl ekspres). Kemudian dengan adanya perubahan dan penghilangan jalur tertentu, setidaknya akan menambah jeda waktu tunggu untuk krl tujuan yang dimaksud antara 10 - 30menit. Akibatnya adanya penambahan waktu tempuh minimal 15menit.
Padahal seperti saya ungkap sebelumnya, penumpang krl ekspres didominasi oleh penumpang yang rela membeli waktu dan bukan sebaliknya menjual waktu demi menghemat uang.
PT. KAI justru tidak cerdik, disaat fasilitas transportasi lain lumpuh, dan krl menjadi sarana terbaik, justru memilih untuk menurunkan kualitas layanan dengan menambah waktu tempuh. Sementara kehandalan yang seharusnya diperbaiki seperti ketepatan jadwal, pensinyalan, fasilitas AC, dan kondisi stasiun malahan menjadi prioritas perbaikan.
Padahal saya yakin, jika ada perbaikan layanan, penumpang ekspres pun akan mau membayar lebih, toh mereka dapat lebih bekerja dengan tepat waktu, pulang dengan lebih jelas sehingga bukan tidak mungkin justru menaikan jumlah penumpang yang beralih dari kendaraan pribadi.
Untuk model layanan single operation, saya justru lebih berkeyakinan jika pendapatan PT. KAI akan berkurang. Sebagian penumpang ekspres mungkin akan kembali ke kendaraaan pribadi, setidaknya mengejar waktu tempuh dan kenyamanan yang lebih jelas. Bagi penumpang ekonomi' harga 9.000 rupiah untuk semua jarak akan sangat memberatkan, alih-alih membayar tiket justru mereka akan memilih menjadi "ataper" secara gratis, atau bahkan memaksa membayar seadanya kepada petugas di dalam gerbong. Bahkan mungkin akan terjadi kerusakan fasilitas, karena jumlah pemberangkatan krl ekonomi non-AC bersubsidi dikurangi.
Jadi, model layanan baru jelas merugikan kedua belah pihak, konsumen dirugikan karena waktu tempuh bertambah dan harga tiket yang naik, PT.KAI pun dirugikan karena akan kehilangan penumpang, kehilangan penjualan tiket resmi, dan kemungkinan kerusakan fasilitas.
Untuk itu seharusnya PT.KAI lebih cerdik dan menangkap peluang buruknya kondisi transportasi lain. Sehingga selain dapat meningkatkan pendapatan perusahaan, juga akan mendapatkan pujian karena menjadi salah satu penyedia jasa transportasi yang memberi solusi kemacetan jakarta.
Semoga pimpinan PT.KAI, dan pejabat transportasi yang berhubungan segera sadar dan menjadi cerdik..

Informasi KRL Comuter (single operation) dapat dilihat pada http://www.krl.co.id & http://www.krlmania.com

Kamis, 23 Juni 2011

Pengen nulis....

Terkadang saat perjalanan, baik perjalan rutin dari dan ke kantor atau pun perjalanan ke tempat lain tercetus ide-ide yang tiba-tiba.. seringnya sih karena melihat sesuatu atau justru suatu kejadian.... intinya terkadang ada terbesit keinginan untuk suatu perbaikan. Sepertinya akan lebih baik jika saya tuliskan disini mudah-mudahan suatu saat ada yang mewujudkannya atau malahan mungkin saya sendiri yang membuatnya menjadi nyata.. semoga...